Jumat, 10 Mei 2013

Bab 14



Penyelesaian Sengketa Ekonomi

1.  Pengertian Sengketa
Pengertian sengketa dalam kamus Bahasa Indonesia, berarti pertentangan atau konflik, Konflik berarti adanya oposisi atau pertentangan antara orang-orang, kelompok-kelompok, atau organisasi-organisasi terhadap satu objek permasalahan. Senada dengan itu Winardi mengemukakan :
Pertentangan atau konflik yang terjadi antara individu-individu atau kelompok-kelompok yang mempunyai hubungan atau kepentingan yang sama atas suatu objek kepemilikan, yang menimbulkan akibat hukum antara satu dengan yang lain.
Sedangkan menurut Ali Achmad berpendapat :
Sengketa adalah pertentangan antara dua pihak atau lebih yang berawal dari persepsi yang berbeda tentang suatu kepentingan atau hak milik yang dapat menimbulkan akibat hukum bagi keduanya.
Dari kedua pendapat diatas maka dapat dikatakan bahwa sengketa adalah prilaku pertentangan antara dua orang atau lebih yang dapat menimbulkan suatu akibat hukum dan karenanya dapat diberi sangsi hukum bagi salah satu diantara keduanya

2.  Cara-cara Penyelesaian Sengketa
Penyelesaian sengketa secara damai bertujuan untuk mencegah dan mengindarkan kekerasan atau peperangan dalam suatu persengketaan antar negara. Menurut pasal 33 ayat 1 (Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan) Piagam PBB penyelesaian sengketa dapat ditempuh melalui cara-cara sebagai berikut:
1. Negosiasi (perundingan)
Perundingan merupakan pertukaran pandangan dan usul-usul antara dua pihak untuk menyelesaikan suatu persengketaan, jadi tidak melibatkan pihak ketiga.
2. Enquiry (penyelidikan)
Penyelidikan dilakukan oleh pihak ketiga yang tidak memihak dimaksud untuk mencari fakta.

3. Good offices (jasa-jasa baik)
Pihak ketiga dapat menawarkan jasa-jasa baik jika pihak yang bersengketa tidak dapat menyelesaikan secara langsung persengketaan yang terjadi diantara mereka.
Penyelesaian perkara perdata melalui sistem peradilan:
1.  Memberi kesempatan yang tidak adil (unfair), karena lebih memberi kesempatan kepada lembaga-lembaga besar atau orang kaya.
2.  Sebaliknya secara tidak wajar menghalangi rakyat biasa (ordinary citizens) untuk perkara di pengadilan.
Tujuan memperkarakan suatu sengketa:
1.  adalah untuk menyelesaikan masalah yang konkret dan memuaskan,
2.  dan pemecahannya harus cepat (quickly), wajar (fairly) dan murah (inexpensive)
3.  Negosiasi
DEFINISI
Proses komunikasi antara dua pihak, yang masing-masing mempunyai tujuan dan sudut pandang mereka sendiri, yang berusaha mencapai kesepakatan yang memuaskan kedua belah pihak mengenai masalah yang sama (Hartman).
Oliver  : Negosiasi adalah sebuah transaksi dimana kedua belah pihak mempunyai hak atas hasil akhir.
Casse : negosiasi adalah proses dimana paling sedikit ada dua pihak dengan persepsi, kebutuhan, dan motivasi yang berbeda mencoba untuk bersepakat tentang suatu hal demi kepentingan bersama.
Negosiasi adalah seni mencapai persetujuan dengan memecahkan perbedaan melalui kreatifitas (Stephen Kozicki, Adam Press).

TUJUAN NEGOSIASI
           Untuk menemukan suatu kesepakatan kedua belah pihak secara adil,
     Dapat memenuhi harapan/keinginan keduabelah pihak,
Untuk mendapatkan sebuah keuntungan atau menghindari kerugian atau memecahkan problem yang lain.
Lima Terminologi Negosiasi, yaitu :
      Issues ; hal-hal yang perlu dipecahkan.
Deadlock or Stalemate ; apa yang akan terjadi ketika tidak ada persetujuan yang dapat dicapai.
Impasse ; berhubungan dengan apa yang akan terjadi ketika isu tidak dapat dipecahkan.
     Concenssion ; apa yang akan diberikan untuk memuaskan pihak lain.
Power ; kemampuan untuk mempengaruhi prilaku pihak lain.
Dalam Melakukan Negosiasi ada 6 (enam) Tahap Penting yang Harus Diperhatikan
Persiapan.
     Pada tahap ini dimulai dengan
        mengumpulkan informasi
•   menentukan tim negosiasi
•   usahakan untuk semakin banyak mengenal profil pihak lawan negosiasi, karena semakin banyak mengenal profil lawan maka semakin menambah percaya diri dan semakin siap memasuki proses negosiasi.
Kontak Pertama.
Tahap ini adalah tahap pertemuan secara langsung antara kedua belah pihak yang terlibat dalam proses negosiasi, saling berusaha untuk mengumpulkan informasi selengkapnya untuk kepentingan sendiri.
Tahap ini penilaian mulai berlangsung diantara para negosiator dan memunculkan kesan pertama.
Konfrontasi.
Tahap ini saling berargumentasi terhadap segala sesuatu yang akan dinegosiasikan.
Adanya suatu perbedaan dan potensi perdebatan yang semakin memanas dan tidak terkendali dapat saja terjadi jika masing-masing pihak tidak dapat mengendalikan emosi.
Konsiliasi.
Melakukan tawar menawar dan proses ini diperlukan untuk memperoleh titik temu yang betul-betul disepakati dan bermanfaat bagi kedua belah pihak, seperti halnya proses tawar menawar yang dilakukan seorangpenjual dan pembeli.
Solusi.
Tahap dimana kedua belah pihak mulai saling menerima dan memberi, dimana para negosiator mulai menemukan titik-titik kesepakatan bagi kedua belah pihak dengan cara mereka masing-masing, dengan mengembangkan sikap relasional yaitu sikap yang selalu berorientasi untuk menanggung bersama dan selalu menumbuhkan sikap saling memberi solusi terbaik bagi kedua belah pihak.
Pasca Negosiasi.
Tahap terakhir ini melakukan konsolidasi bagi kedua belah pihak, apakah masing-masing pihak benar-benar memiliki komitmen atas segala yang telah disepakati bersama?. Pada tahap ini merupakan tahapan proses negosiasi yang paling sulit dalam menerjemahkan kesepakatan ke dalam suatu tindakan yang riil. 
4.  Mediasi
Melibatkan pihak ketiga (third party) yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa. Pihak ketiga dapat berupa individu atau kelompok (individual or group), negara atau kelompok negara atau organisasi internasional.
Dalam mediasi, negara ketiga bukan hanya sekedar mengusahakan agar para pihak yang bersengketa saling bertemu, tetapi juga mengusahakan dasar-dasar perundingan dan ikut aktif dalam perundingan, contoh: mediasi yang dilakukan oleh Komisi Tiga Negara (Australia, Amerika, Belgia) yang dibentuk oleh PBB pada bulan Agustus 1947 untuk mencari penyelesaian sengketa antara Indonesia dan Belanda dan juga mediasi yang dilakukan oleh Presiden Jimmy Carter untuk mencari penyelesaian sengketa antara Israel dan Mesir hingga menghasilkan Perjanjian Camp David 1979. Dengan demikian, dalam mediasi pihak ketiga terlibat secara aktif (more active and actually takes part in the negotiation).
Mediasi biasanya dilakukan oleh pihak ketiga ketika pihak yang bersengketa tidak menemukan jalan keluar dalam penyelesaian suatu masalah.Maka pihak ketiga merupakan salah satu jalan keluar dari jalan buntu perundingan yang telah terjadi dan memberikan solusi yang dapat diterima oleh kedua belah pihak. Seorang mediator harus netral (tidak memihak salah satu pihak yang bersengketa) dan independen. Dalam menjalankan tugasnya, mediator tidak terikat pada suatu hukum acara tertentu dan tidak dibatasi pada hukum yang ada. Mediator dapat menggunakan asas ex aequo et bono untuk menyelesaikan sengketa yang ada.
Ketika negara-negara yang menjadi para pihak dalam suatu sengketa internasional tidak dapat menemukan pemecahan masalahnya melalui negosiasi, intervensi yang dilakukan oleh pihak ketiga adalah sebuah cara yang mungkin untuk keluar dari jalan buntu perundingan yang telah terjadi dan memberikan solusi yang dapat diterima oleh kedua belah pihak. Pihak ketiga yang melaksanakan mediasi ini tentu saja harus bersifat netral dan independen. Sehingga dapat memberikan saran yang tidak memihak salah satu negara pihak sengketa.
Intervensi yang dilakukan oleh pihak ketiga ini dapat dilakukan dalam beberapa bentuk. Misalnya, pihak ketiga memberikan saran kepada kedua belah pihak untuk melakukan negosiasi ulang, atau bisa saja pihak ketiga hanya menyediakan jalur komunikasi tambahan.
Pelaksanaan mediasi dalam penyelesaian sengketa internasional diatur dalam beberapa perjanjian internasional, antara lain The Hague Convention 1907; UN Charter; The European Convention for the Peaceful Settlement of Disputes.
5.  Arbitrase
Arbitrase merupakan salah satu metode penyelesaian sengketa. Sengketa yang harus diselesaikan tersebut berasal dari sengketa atas sebuah kontrak dalam bentuk sebagai berikut :
a.  Perbedaan Penafsiran (disputes) mengenai pelaksanaan perjanjian,
    berupa :
1). Kontraversi pendapat (controversy);
2). Kesalahan pengertian (misunderstanding);
3). Ketidaksepakatan (disagreement).
b. Pelanggaran perjanjian (breach of contract), termasuk di dalamnya  adalah :
1). Sah atau tidaknya kontrak;
2). Berlaku atau tidaknya kontrak.
c.   Pengakhiran kontrak (termination of contract);
d. Klaim mengenai ganti rugi atas wanprestasi atau perbuatan melawan hukum.
Sedangkan menurut  Nomor 30 Tahun 1999, yang dimaksud dengan arbitrase adalah, cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa .[2]
Dalam literatur lain dijelaskan, bahwa yang dimaksud dengan “arbitrase” adalah “submission  of controversies by agreement  of the parties there to persons chosen by themselves for determination.”
Dari beberapa definisi tersebut di atas, dapat ditarik beberapa karakteristik yurudis dari  arbitrase, sebagai berikut:
·   Adanya kontroversi  di antara para pihak;
·   Kontroversi tersebut diajukan kepada arbiter;
·    Arbiter diajukan oleh para pihak atau ditunjuk oleh badan tertentu;
·   Arbiter adalah pihak di luar badan peradilan umum;
·   Dasar pengajuan sengketa ke arbitrase  adalah perjanjian;
·   Arbiter melakukan pemeriksaan perkara;
·   Setelah memeriksa perkara, arbiter akan memberikan putusan arbitrase tersebut dan mengikat para pihak.

2. Prinsip-prinsip Arbitrase
Agar dapat menjadi badan penyelesaian  yang ampuh, Arbitrase seharusnya menganut beberapa prinsip sebagai berikut:
a.  Efisien
Dibandingkan dengan penyelesaian sengketa melalui badan-badang peradilan umum, penyelesaian sengketa lewat arbitrase lebih efisien, yakni efisien dalam hubungannya dengan waktu dan biaya.
b.  Accessibilitas
Arbitrase harus terjangkau dalam arti biaya, waktu dan tempat.
c.  Proteksi Hak Para Pihak
Terutama pihak yang tidak mampu, misalnya untuk mendatangkan  saksi ahli atau untuk menyewa pengacara terkenal , harus mendapatkan perlindungan yang wajar.
b.  Final and Binding
Keputusan arbitrase haruslah final and binding, kecuali memang para pihak tidak menghendaki demikian  atau jika ada alasan-alasan yang berhubungan dengan “due proses”.
c.  Fair and Just
Tepat dan adil untuk pihak bersengketa, sifat sengketa dan sebagainya.
d.   Sesuai Dengan Sence Of Justice Dari Masyarakat.
Dengan demikian akan lebih terjamin unsur “deterrant” dari si pelanggar, dan sengketa akan dapat dicegah.
e.   Credibilitas
Para arbiter dan badan Arbitrase yang bersangkutan haruslah orang-orang yang diakui kredibilitasnya, sehingga keputusannya akan lebih dihormati. 

3. Kelebihan – Kelebihan Arbitrase
Dibandingkan dengan pengadilan konvensional, maka arbitrase mempunyai  kelebihan atau keuntungan, antara lain :
a.      Prosedur tidak berbelit dan keputusan keputusan dapat dicapai dalam waktu relatif singkat
b.  Biaya lebih murah.
c.  Dapat dihindari expose dari keputusan di depan umum.
d.  Hukum terhadap prosedur dan pembuktian lebih relaks.
e.   Para pihak dapat memilih hukum mana yang akan diberlakukan oleh arbitrase.
f.  Para pihak bisa memilih sendiri para arbiter.
g.  Dapat memilih para arbiter dari kalangan ahli dalam bidangnya.
h.  Keputusan dapat lebih terkait dengan situasi dan kondisi.
i.    Keputusannya umumnya final dan binding (tanpa harus naik banding atau kasasi).
j.    Keputusan arbitrase pada umumnya  dapat diberlakukan dan dieksekusi  oleh pengadilan dengan sedikit atau tanpa review sama sekali.
k.   Proses/prosedur arbitrase lebih mudah dimengerti oleh masyarakat luas.
l.  Menutup kemungkinan untuk dilakukan “Forum Shopping”.

4. Kekurangan-kekurangan Arbitrase
Bila dibandingkan dengan pengadilan konvensional kelebihan-kelebihan, kelemahan dan kritikan terhadap arbitrase sering diajukan, antara lain sebagai beikut :
a.    Hanya baik dan tersedia dengan baik terhadap perusahaan-perusahaan bonafide.
b.    Due prosess kurang terpenuhi.
c.    Kurangnya unsur finality.
d.    Kurangnya power untuk menggiring para pihak ke settlement.
e.    Kurangnya power untuk menghadirkan barang bukti, saksi dan lain-lain.
f.     Dapat menyembunyikan dispute dari “Public Scrutiny.”
g.    Tidak dapat menghasilkan solusi yang bersifat preventif.
h.    Kemungkinan timbulnmya keputusan yang saling bertentangan satu sama lain karena tidak ada sistem “presedent” terhadap keputusan sebelumnya, dan juga karena unsure fleksibelitas dari arbiter. Karena itu keputusan arbitrase tidak predektif.
i.     Kualitas keputusannya sangat bergantung pada kualitas para arbiter itu sendiri, tanpa ada norma  yang cukup untuk menjaga standar mutu keputusan arbitrase. Oleh karena itu sering dikatakan “An arbitration is as good as arbitrators”.
j.     Berakibat kurangnya upaya untuk mengubah sistem pengadilan konvensional yang ada.
k.    Berakibat semakin tinggi rasa permusuhan kepada pengadilan.    
Penyelesaian  sengketa melalui Badan Arbitrase sesungguhnya telah diatur berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase, dimana dalam Undang-Undang tersebut dijelaskan kemungkinan diselesaikannya suatu  sengketa melalui badan arbitrase. 
Meskipun Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa telah diundangkan dan karenanya mulai berlaku mulai pada tanggal 12 Agustus 1999, namun dibeberapa Pengadilan Negeri masih saja  ada  Hakim yang kurang memahaminya. Pasal 3 Undang-Undang tersebut dengan tegas menyatakan bahwa Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase. Bahkan menurut pasal 11 Undang-Undang tersebut, adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke Pengadilan Negeri dan Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999.
6.    Perbandingan antara Perundingan, Arbitrase, dan Ligitasi
Proses
Perundingan
Arbitrase
Litigasi
Yang mengatur
Para pihak
Arbiter
Hakim
Prosedur
Informal
Agak formal sesuai dengan rule
Sangat formal dan teknis
Jangka waktu
Segera
(3-6 minggu)
Agak cepat
(3-6 bulan)
Lama
(2 tahun lebih)
Biaya
Murah
(low cost)
Terkadang sangat mahal
Sangat mahal
(expensive)
Aturan pembuktian
Tidak perlu
Agak informal
Sangat formal dan teknis
Publikasi
Konfidensial
Konfidensial
Terbuka untuk umum
Hubungan para pihak
Kooperatif
Antagonis
Antagonis
Fokus penyelesaian

For the future
Masa lalu
(the past)
Masa lalu
(the past)
Metode negosiasi
Kompromis
Sama keras pada prinsip hukum
Sama keras pada prinsip hukum
Komunikasi
Memperbaiki yang sudah lalu
Jalan buntu
(blocked)
Jalan buntu
(blocked)
Result
Win-win
Win-lose
Win-lose
Pemenuhan
Sukarela
Selalu ditolak dan mengajukan oposisi
Ditolak dan mencari dalih
Suasana emosional
Bebas emosi
emosional
Emosi bergejolak

contoh kasus ligitasi
Alm, Prof. Komar Kantaatmadja, melihat kultur masyarakat ini sebagai masalah cukup
krusial dalam penyelesaian sengketa. Beliau mengemukakan 4 (empat) masalah kultur
ini.
Dua di antaranya yang utama adalah keengganan untuk tidak mau melaksanakan
putusan pengadilan. Yang kedua adalah upaya untuk mengulur-ulur waktu sebagai taktik
untuk tidak melaksanakan kewajibannya.

Opini tentang penyelesaian sengketa menggunakan metode litigasi.
Menurut pendapat saya, menyelesaikan sengketa dengan cara litigasi adalah pilihan yang terakhir jika dengan mediasi, negosiasi ataupun arbitrasi tidak menemukan titik terang. Sistem litigasi ini pada hakikatnya adalah sistem peradilan Indonesia dapat disebut mirip dengan mix arbitration, yang berarti:
1. pada tahap pertama proses pemeriksaan perkara, majelis hakim bertindak sebagai conciliator atau majelis pendamai,
2. setelah gagal mendamaikan, baru terbuka kewenangan majelis hakim untuk memeriksa dan mengadili perkara dengan jalan menjatuhkan putusan.
Akan tetapi, dalam kenyataan praktek, terutama pada saat sekarang, hanya dianggap dan diterapkan sebagai formalitas saja. Jarang ditemukan pada saat sekarang penyelesaian sengketa melalui perdamaian di muka hakim.

Sumber: