Berpikir Deduktif
dan Berpikir Induktif (definisi dan jenisnya)
Berpikir deduktif
Berpikir deduktif atau berpikir
rasional merupakan sebagian dari berpikir ilmiah. Logika deduktif yang
dipergunakan dalam berpikir rasional merupakan salah satu unsur dari metode
logiko-hipotetiko-verifikatif atau metode ilmiah. Dalam logika deduktif,
menarik suatu kesimpulan dimulai dari pernyataan umum menuju
pernyataan-pernyataan khusus dengan menggunakan penalaran atau rasio.
Metode deduktif mempunyai banyak
manfaat untuk perkembangan sains yaitu fakta yang didapat dapat digunakan
secara turun temurun sehingga memudahkan ilmuwan zaman selanjutnya untuk
meneliti kejadian yang sama serta dapat mengaplikasikannya ke dalam teknologi
untuk kepentingan masyarakat luas.
Uraian mengenai proses berfikir deduktif akan dilangsungkan
melalu beberapa corak berpikir deduktif, yaitu : silogisme kategorial,
silogisme hipotesis, silogisme disjungtif atau silogisme alternatif,
entimem, rantai deduksi, dan teknik pengujuan kebenaran atas tiap corak
penalaran deduktif itu.
1.
Silogisme
Kategorial
Yang dimaksud dengan silogisme adalah suatu bentuk proses
penalaran yang berusaha menghubungkan dua proposisi (pernyataan) yang berlainan
untuk menurunkan suatu kesimpulan atau inferensi yang merupakan prosposisi yang
ketiga. Secara khusus silogisme kategorial dapat dibatasi sebagai suatu argumen
deduktif yang mengandung suatu rangkaian yang terdiri dari tiga proposisi
katergorial, yang disusun sedemikian rupa sehingga ada tiga term yang muncul dalam
rangkaian pernyataan itu. Tiap-tiap term hanya boleh muncul dalam dua
pernyataan, misalnya :
- Semua
buruh adalah manusia pekerja.
- Semua
tukang batu adalah buruh.
- Jadi,
semua tukang batu adalah manusia pekerja.
Dalam rangkaian pernyataan di atas terdapat tiga proposisi a
+ b + c. Dalam rangkaian silogisme kategorial hanya terdapat tiga term, dan
tiap term muncul dalam dua proposisi.
2.
Silogisme
Hipotesis
Silogisme hipotesis atau silogisme pengandaian adalah semacam pola penalaran deduktif yang mengandung
hipotese. Silogisme hipotetis bertolak dari suatu pendirian, bahwa ada
kemungkinan apa yang disebut dalam proposisi itu tidak ada atau tidak terjadi.
Premis mayornya mengandung pernyataan yang bersifat hipotesis. Oleh karena
sebab itu rumus proposisi mayor dari silogisme ini adalah:
Jika P, maka Q
Contoh silogisme hipotesis :
Premis mayor : Jika
tidak turun hujan, maka panen akan gagal.
Premis minor : Hujan
tidak turun.
Konklusi
: Sebab itu panen akan gagal.
Dalam kenyataan, yaitu bila kita menghadapi persoalan, maka
kita dapat mempergunakan pola penalaran di atas.
3.
Silogisme
Alternatif
Jenis silogisme yang ketiga adalah silogisme alternatif atau
disebut juga silogisme disjungtif. Silogisme ini dinamakan demikian,
karena proposisi mayornya merupakan sebuah proposisi yang mengandung
kemungkinan-kemungkinan atau pilihan-pilihan. Sebaliknya porposisi minornya
adalah proposisi kategorial yang menerima atau menolak salah satu
alternatifnya. Sebagai contoh berikut :
Premis mayor : Ayah
ada dikantor atau dirumah
Premis minor : Ayah
ada dikantor
Konklusi
: Sebab itu, ayah tidak ada dirumah.
Atau
Premis mayor : Ayah
ada dikantor atau dirumah
Premis minor : Ayah
tidak ada dikantor
Konklusi
: Sebab itu, ayah ada dirumah.
Secara praktis kita juga sering bertindak seperti itu. Untuk
menetapkan sesuatu atau menemukan sesuatu secara sistematis kita bertindak
sesuai denga pola silogisme alternatif itu.
4.
Entimem
Silogisme sebagai suatu cara untuk menyatakan pikiran
tampaknya bersifat artifisial. Dalam kehidupan sehari-hari biasanya silogisme
itu muncul hanya dengan dua proposisi, salah satunya dihilangkan. Walaupun
dihilangkan, proposisi itu tetap dianggap ada dalam pikiran, dan dianggap
diketahui pula oleh orang lain. Bentuk semacam ini dinamakan entimem
yang berarti ‘simpan dalam ingatan’ dalam bahasa yunani. Dalam tulisan-tulisan
bentuk inilah yang dipergunakan, dan bukan bentuk yang formal seperti
silogisme.
Misalnya sebuah silogisme asli akan dinyatakan oleh seorang
pengasuh ruangan olahraga dalam sebuah harian sebagai berikut:
Premis mayor : Siapa
saja yang dipilih mengikuti pertandingan Thomas Cup adalah Seorang pemain
kawakan.
Premis minor : Rudy
Hartono terpilih untuk mengikuti pertandingan Thomas Cup.
Konklusi
: Sebab itu Rudy Hartono adalah
seorang pemain (bulu tangkis) kawakan.
Bila pengasuh ruangan olahraga menulis seperti diatas, dan
semua gaya tulisannya sehari-hari mengikuti corak tersebut, maka akan dirasakan
bahwa tulisannya terlalu kaku. Sebab itu ia akan mengambil bentuk lain, yaitu
entimem. Bentuk itu akan berbunyi, “Rudy hartono adalah seorang pemain bulu
tangkis kawakan, karena terpilih untuk mengikuti pertandingan Thomas Cup.”
Persoalan dala sebuah argumentasi adalah bagai mana
mengemukakan dan menganalisa kebenaran atau menunjukkan kekeliruan penalaran
orang lain. Bagaimana harus memperlihatkan hubungan antara proposisi-proposisi
yang terdapat dibalik tulisannya itu. Tetapi ia juga harus merumuskan penalarannya
itu dalam bahasa yang baik. Sebab itu, bentuk penalaran seperti bermacam-macam
silogisme sebagai yang dikemukakan di atas harus dikuasai untuk mampu menguji
kebenaran dan kesahihan kesimpulan yang diturunkannya. Namun sesudah itu ia
juga berkewajiban untuk menyampaikan kebenaran itu dalam bentuk bahasa yang
baik, dalam hal ini ia harus memilih entimem yang sesuai dengan kebenaran yang
ingin disampaikannya itu.
5.
Rantai
Deduksi
Seringkali penalaran yang deduktif lebih informal dari
entimem. Orang-orang tidak berhenti pada sebuah silogisme saja, tetapi dapat
pula merangkaikan beberapa bentuk silogisme yang tertuang dalam bentuk-bentuk
yang informal. Misalnya sesudah beberapa kali merasakan buah belimbing,
seseorang akan mengambil kesimpulan: belimbing masam rasanya. Bila pada suatu
waktu orang itu diberi buah belimbing,dengan segera ia membuat sebuah rangkaian
deduksi sebagai berikut.
Semua buah belimbing masam rasanya. (hasil generalisasi)
Kali ini saya diberi lagi buah belimbing.
Sebab itu, buah belimbing ini juga pasti masam rasanya.
(deduksi)
Saya tidak suka akan buah-buahan yang masam rasanya
(induksi:generalisasi)
Ini adalah buiah belimbing masam.
Sebab itu, sya tidak suka buah belimbing ini. (deduksi)
Saya tidak suka makan apa saja, yang saya tidak senangi
(induksi:generalisasi)
Saya tidak suka buah ini.
Sebab itu saya tidak memakannya (deduksi).
Dalam kenyataan penalaran yang induktif dan deduktif memberi
pengaruh timbal balik, sebab secara serempak penalaran itu dapat bergerak
melalui proses-proses yang kompleks, dengan menilai evidensi yang ditimbulkan
oleh situasi tertentu. Penalaran itu melukiskan generalisasi yang tepat dari
pengetahuan seseorang, serta menerapkannya secara deduktif kepada situasi yang
khusus.
Yang penting dalam mata rantai induksi—deduksi ini, penulis
harus mengetahui norma dasar, sehingga bila argumennya mendapat tantangan atau
bila ia sendiri ragu-ragu terhadap argumen orang lain, ia dapat menguji argumen
itu untuk menemukan kesalahannya dan kemudian dapat memperbaikinya, entah
kesalahan itu terjadi karena induksi yang salah, entah karena premis ata
kanklusi-konklusi deduksi yang salah.
Berpikir induktif
Proses berpikir induktif adalah
kebalikan dari proses berpikir deduktif, yakni pengambilan kesimpulan dimulai
dari pernyataan atau fakta-fakta khusus menuju pada kesimpulan yang bersifat
umum. Proses berpikir induktif tidak dimulai dari teori yang bersifat umum,
tetapi dari fakta atau data khusus berdasarkan pengamatan di lapangan atau
pengalaman empiris yang kemudian disusun, diolah, dikaji, untuk ditarik
maknanya dalam bentuk pernyataan atau kesimpulan yang bersifat umum.
Proses penalaran yang induktif dapat dibedakan lagi atas
bermacam-macam variasi yang berturut-turut akan dikemukakan dalam bagian-bagian
berikut yaitu : generalisasi, hipotese dan teori analogi induktif, kausal dan
sebagainya.
1. Generalisasi
Generalisasi adalah suatu proses penalaran yang bertolak
dari sejumlah fenomena individual untuk menurunkan suatu inferensi yang
bersifat umum yang mencakup semua fenomena tadi. Generalisasi hanya akan
mempunyai makna yang penting, kalau kesimpulan yang diturunkan dari sejumlah
fenomena tadi bukan saja mencakup semua fenomena itu, tetapi juga harus berlaku
pada fenomena-fenomena lain yang sejenis yang belum diselidiki. Generalisasi
dapat dibedakan menjadi generalisasi yang berbentuk loncatan induktif
dan bukan loncatan induktif.
- Loncatan
induktif
Adalah sebuah generalisasi yang bersifat loncatan induktif
tetap bertolak dari beberapa fakta, namun fakta yang ada belum mencerminkan
seluruh fenomena yang ada.
2.
Bukan loncatan infuktif
Adalah sebuah generalisasi tidak mengandung loncatan
induktif bila fakta-fakta yang diberikan cukup banyak dan meyakinkan, sehingga
tidak terdapat peluang untuk menyerang kembali.
2. Hipotese dan Teori
Generalisasi dan hipotese memiliki sifat yang tumpang
tindih, namun membedakan kedua istilah tersebut sangat perlu. Hipotese (hypo
‘di bawah’, tithenai ‘menempatkan’) adalah semacam teori atau
kesimpulan yang diterima sementara waktu untuk menerangkan fakta-fakta tertentu
sebagai penuntun dalam meneliti fakta-fakta lain lebih lanjut. Dan sebaliknya,
teori sebenarnya merupakan hipotese yang secara relatif lebih kuat sifatnya
bila dibandingkan dengan hipotese. Teori adalah azas-azas yang umum dan abstrak
yang diterima secara ilmiah dan sekurang-kurangnya dapat dipercaya untuk
menerangkan fenomena-fenomena yang ada. Sedangkan hipotese merupakan suatu
dugaan yang bersifat sementara mengenai sebab-sebab atau relasi antara
fenomena-fenomena, sedangkan teori merupakan hipotese yang telah diuji dan yang
dapat diterapkan pada fenomena-fenomena yang releven atau sejenis.
3. Analogi induktif
Analogi adalah suatu proses penalaran yang bertolak dari dua
peristiwa khusus yang mirip satu sama lain, kemudian menyimpulkan bahwa apa
yang berlaku untuk suatu hal akan berlaku pula untuk hal yang lain.
4. Hubungan kausal
Hubungan antara sebab dan akibat (hubungan kausal) didalam
dunia modern ini, kadang-kadang tidak mudah diketahui. Tetapi itu tidak berarti
bahwa apa yang dicatat sebagai suatu akibat tidak mempunyai sebab sama sekali.
Pada umumnya hubungan kausal ini dapat berlangsung dalam tiga pola berikut : sebab
ke akibat, akibat kek sebab, dan akibat ke akibat.
5. Induksi dalam metode
Eksposisi
Sebagai telah dikemukakan diatas, untuk menetapkan apakah
data dan informasi yang kita peroleh itu merupakan fakta, maka harus diadakan
penelitian, apaka data dan informasi itu merupakan kenyataan atau yang
sungguh-sungguh terjadi. Pada tahap selanjutnya pengarang atau penulis perlu
mengadakan penilaian selanjutnya, guna memperkuat fakta yang akan digunakan
sehingga memperkuat kesimpulan yang akan diambil. Dengan kata lain, perlu
diadakannya seleksi untuk menentukan fakta mana yang akan dijadikan evidensi.
a. Konsistensi
Dasar pertama yang dapat dipakai untuk menetapkan fakta mana
yang akan digunakan sebagai evidensi adalah kekonsistenan. Sebuah
argumentasi akan kuat dan mempunyai tenaga persuasif yang tinggi, kalau
evidensi-evidensinya bersifat konsisten, tidak ada satu evidensi bertentangan
atau melemahkan evidensi lainnya.
b. Koheresi
Dasar kedua yang dapat dipakai untuk mengadakan penelitian
fakta yang dapat dipergunakan sebagai evidensi adalah masalah koherensi. Semua
fakta yang akan digunakan sebagai evidensi harus koheren dengan
pengalaman-pengalaman manusia, atau sesuai dengan sikap yang berlaku. Penulis
harus dapat meyakinkan para pembaca untuk dapat setuju, atau menerima
fakta-fakta dan jalan pikiran yang kemukakannya, maka secara konsekuen pula
pembaca harus menerima hal lain, yaitu konklusinya.
Contoh berpikir induktif:
a.
Ketika Newton dijatuhi buah apel , dia berpikir apa yang menyebabkan hal
tersebut. Setelah itu dia melakukan observasi dan merumuskan sebuah hipotesis ,
setelah itu melakukan verifikasi dan pengukuhan pembuktian , sehingga
didapatkannya “temuan (teori dan hukum ilmiah yang diterapkan untuk semua hal)”
b.
Jika dipanaskan, besi memuai. Jika dipanaskan, tembaga memuai.Jika dipanaskan,
emas memuai. Jika dipanaskan, platina memuai. Jika dipanaskan logam akan memuai
(kesimpulan).
Sumber: